Rumah untuk Rakyat: 13 Profesi Prioritas dan Kontroversi di Baliknya

Program rumah subsidi kembali menjadi sorotan publik. Pemerintah melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) telah menetapkan 13 profesi sebagai sasaran khusus penerima fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Langkah ini dilakukan dengan alasan memastikan ketepatan sasaran dan meningkatkan daya serap rumah subsidi oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Namun, di balik kebijakan ini, sejumlah pihak mengkritisi pendekatan berbasis profesi sebagai sesuatu yang diskriminatif. Apakah benar program rumah subsidi kini lebih adil dan tepat sasaran? Ataukah justru membuka celah ketimpangan baru dalam akses perumahan rakyat?

13 Profesi Prioritas Penerima Rumah Subsidi

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menyatakan bahwa penetapan 13 profesi tersebut telah melalui kajian mendalam untuk menjamin efektivitas distribusi rumah subsidi. Berikut daftar profesi yang dimaksud:

  1. Guru
  2. Tenaga kesehatan
  3. Buruh
  4. Prajurit TNI AD
  5. Anggota Polri
  6. Pekerja migran
  7. Petani
  8. Nelayan
  9. Pengemudi transportasi daring (ojol)
  10. Pekerja ekonomi kreatif
  11. Kader lapangan BKKBN
  12. Asisten rumah tangga (ART)
  13. Pekerja informal lainnya

Menurut Heru, segmen ini berasal dari kelompok masyarakat dalam klaster desil 1 hingga 8 yang tergolong MBR. Pemerintah mengalokasikan 164.260 unit rumah dari total 220.000 unit yang disediakan melalui program FLPP tahun ini.

Tujuan Segmentasi Profesi

Segmentasi ini, kata Heru, bukan untuk mendiskriminasi profesi lain. Ia menegaskan bahwa program reguler FLPP tetap berjalan sebagaimana biasanya, dengan syarat dan ketentuan yang sama. Kebijakan segmentasi ini diklaim untuk menjamin permintaan pasar agar pengembang perumahan dan bank penyalur memiliki kepastian dalam penyaluran rumah subsidi.

Dengan kepastian itu, ekosistem perumahan subsidi dinilai akan lebih sehat dan responsif terhadap kebutuhan kelompok rentan yang sebelumnya sulit menjangkau pembiayaan rumah.

Kritik: Diskriminatif dan Tidak Universal

Meskipun niatnya baik, pendekatan berbasis profesi ini memicu kritik tajam dari sejumlah pengamat dan organisasi profesi. Anton Sitorus, pengamat properti dari AS Property Advisory, menilai bahwa pemerintah seharusnya menyalurkan rumah subsidi kepada siapa pun yang paling membutuhkan—tanpa memandang profesi.

“Program untuk masyarakat itu harus universal. Tidak boleh ada diskriminasi, terlepas dari pekerjaan mereka,” ujar Anton kepada Tempo.

Senada dengan Anton, Ketua Umum Pewarta Foto Indonesia (PFI) Reno Esni bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) secara tegas menolak jika wartawan dijadikan segmen penerima khusus program ini. Menurut mereka, rumah subsidi seharusnya diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan berdasarkan penghasilan, bukan profesi.

Reno menyatakan bahwa PFI tidak ingin menerima fasilitas tersebut jika hanya karena status sebagai jurnalis. Ia menambahkan, pemberian fasilitas berdasarkan profesi akan menciptakan citra buruk bagi jurnalis sebagai profesi yang 'diistimewakan'.

Menyasar “Wong Cilik” dan Sektor Informal

Menanggapi kritik yang muncul, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menyampaikan bahwa segmentasi berbasis profesi ini hanyalah langkah awal. Ke depan, ia berjanji untuk menyasar lebih banyak kelompok dari sektor informal, seperti penjual sayur keliling dan pedagang bakso.

“Mereka rakyat juga, harus dapat akses perbaikan meski lebih sulit. Mereka harus dapat keadilan,” ujar Maruarar. Ia menekankan bahwa program ini akan terus dievaluasi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan, agar tidak hanya menyentuh kelompok-kelompok formal saja.

Masih Banyak Tantangan

Meskipun ada niat baik dari pemerintah untuk mengarahkan subsidi ke kelompok yang lebih terstruktur, tantangan dalam program rumah subsidi tidak berhenti pada segmentasi penerima. Beberapa kendala lain yang masih sering dijumpai antara lain:

  • Kualitas bangunan rendah: Banyak penerima rumah subsidi mengeluhkan kondisi rumah yang cepat rusak dan tidak layak huni.
  • Akses dan lokasi: Rumah subsidi kerap berada di lokasi terpencil, jauh dari pusat aktivitas ekonomi.
  • Kurangnya transportasi dan fasilitas umum: Hal ini membuat penghuni kesulitan menjalani aktivitas harian, seperti bekerja, sekolah, dan berobat.

Kuota Meningkat, Harapan Meninggi

Pemerintah menyebut bahwa akan ada peningkatan kuota rumah subsidi untuk menjawab tingginya permintaan. Bahkan, skema tenor kredit rumah subsidi juga diusulkan naik hingga 40 tahun dengan batasan gaji penerima sampai Rp12 juta, agar lebih banyak masyarakat dapat menjangkau rumah layak huni.

Kebijakan ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan akan rumah murah di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi dan dampak inflasi.

Program Subsidi Bukan Sekadar Bangunan

Lebih dari sekadar menyediakan tempat tinggal, rumah subsidi adalah bagian dari strategi negara membangun keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Namun, jika tidak dikelola dengan pendekatan yang adil dan inklusif, program ini justru berisiko menciptakan ketimpangan baru—di mana akses terhadap hak dasar dipilah berdasarkan status pekerjaan.

Harapan masyarakat terhadap program ini bukan hanya soal ketersediaan unit rumah, melainkan juga rasa keadilan dalam mendapatkan akses tersebut. Ketika distribusi rumah bergantung pada profesi, maka ada kekhawatiran bahwa kelompok yang tak tergolong “prioritas” akan terus terpinggirkan.

Menuju Kebijakan Perumahan yang Lebih Adil

Langkah Menteri Maruarar untuk memperluas cakupan segmentasi ke sektor informal patut diapresiasi. Namun, perlu ada mekanisme transparan dan berbasis data untuk menentukan siapa yang benar-benar berhak mendapatkan subsidi. Pendekatan berbasis penghasilan dan kondisi sosial ekonomi bisa menjadi jalan tengah yang adil dibanding klasifikasi profesi semata.

Kebijakan rumah subsidi adalah cerminan komitmen negara dalam memenuhi hak dasar warga negara. Karenanya, pelaksanaan program ini harus menjunjung tinggi prinsip keadilan, keterbukaan, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan—bukan sekadar efisiensi administratif.

 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel